Disampaikan pada diskusi “Menerawang
WTO di Indonesia” MAPAN STIMIK, 5
November 2013
Dahulu
kakek nenek kita mungkin tidak pernah menyangka bahwa kita sekarang sangat
kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokok, bahkan tempe dan cabe pun kita sulit
mendapatkannya, listrik yang mahal, air yang sulit, bahkan untuk belajar dan
pintar pun mesti menjual sawah kakek nenek kita. Sulitnya mendapatkan kebutuhan
kita di tanah air ini tidak bisa dilepaskan dari perjalanan perekonomian dunia
yang kini semakin terintegrasi. Oleh karena itu penting untuk memahami
bagaimana dunia ini dibangun.
Seperti yang dikatakan Kenichi Ohmae
bahwa negara bangsa telah mengalami state
borderless (batas territorial yang menipis), serta aliran dan juga
barang-barang melintasi batas-batas negara. hal inilah yang dikenal dengan
globalisasi ekonomi, apalagi ketersediaan infrastruktur dan kemajuan teknologi
menjadikan proses globalisasi semakin cepat. Akibatnya ekonomi suatu negara
semakin bergantung dengan lingkup global sehingga kebijakan ekonomi suatu
negara tidak bisa dilepas dari pengaruh negara lain. Globalisasi ekonomi dan
merajalelanya neoliberalisme tidak bisa dilepas dari filsuf liberal. Adam Smith
(1776) percaya pada kekuatan invisible
hand sebagai kekuatan pasar. Dengan semboyan “Laissez-faire” percaya bahwa pemerintah sebaiknya tidak ikut campur
dalam mekanisme pasar. Ketika individu mengejar keuntungan pribadi maka akan
berakibat pada masyarakat yang mendapatkan keuntungan pula.
Masyarakat terdiri dari individu-individu dengan kecenderungan bawaan untuk
melakukan tukar-menukar dan berdagang demi mengejar kuntungan dan memuhi
kebutuhannya sebagai homoeconomicus.
David Ricardo mengokohkan teori perdagangan bebas denan comparative advantages nya yakni negara akan mendapatkan keuntungan
jika mendasarkan pada keuntungan komparatif yang mereka miliki. John Locke juga
memberikan pandangan tentang kebebasan individu bahwa setiap individu bebas
untuk memenuhi kebutuhannnya dengan melakukan usaha ataupun berdagang. Neoliberalisme
yang dimotori oleh Friedrich Hayek dan Milton Friedman meyakini bahwa pasarlah
yang mampu bekerja secara efesien dalam mengalokasikan sumber-sumber ekonomi
langka. Menurut kaum neoliberal, “cara-cara kita bertransaksi dalam kegiatan
ekonomi bukanlah satu dari berbagai model hubungan antarmanusia, melainkan
satu-satunya model yang mendasari semua tindakan ataupun relasi manusia, baik
itu persahabatan, keluarga, hukum, tata negara maupun hubungan internasional”.
pandangan-pandangan inilah yang membangun perdagangan dunia yang timpang.
Pengalaman perang dunia II telah
membuat para aktor internasional untuk mulai membangun kerjasama khususnya
dalam bidang ekonomi dan melupakan pengalaman buruk perang. Oleh karena itu perdagangan
bebas dianggap dapat menciptakan perdamaian dan kemakmuran karena perdagangan
bebas berawal dari kerjasama antar aktor internasional. Martin Wolf menambahkan
perdagangan bebas merupakan cara paling baik dalam menciptakan pertumbuhan
ekonomi dan kemakmuran rakyat. Perdagangan bebas memberikan peluang untuk
negara berkembang bisa menjadi maju, mengikis sitem korup, mendapatkan produk
luar negeri yang murah, dan pembangunan investasi di dunia berkembang. Untuk
mendukung perdagangan bebas maka dibutuhkan keterlibatan aktor yang lebih
banyak dan aturan-aturan yng mendukung meluasnya perdagangan bebas (paham
neoliberal).
General
Agreement on Tariff and Trade (GATT) kemudian hadir pada tahun 1947 untuk
memfasilitasi terbentuknya sistem perdagangan bebas. Lembaga ini kemudian
digantikan oleh World Trade Organizations (WTO) pada tahun 1994 sebagai rejim perdagangan
bebas dengan aturan bersifat mengikat yang fokus bagaimana perdagangan tidak
lagi dihambat proteksi baik dalam bentuk tariff ataupun non-tarif. Tugas
institusi WTO adalah mendorong diimplementasikannya liberalisasi ekonomi
berdasarkan doktrin pasar bebas neoliberal.
WTO, Bank Dunia, dan IMF kemudian ‘memaksakan’ resep bagi negara-negara untuk
melakukan langkah-langkah: 1). Disiplin Fiskal dan pengekangan deficit
anggaran;2).Pengurangan belanja publik khususnya militer dan administrasi
publik;3).reformasi pajak dengan memberikan kelonggaran dan kemudahan kepada
pengusaha; 4). Liberalisasi financial; 5). Usaha membuat nilai tukar uang yang
kompetitif; 6). Liberalisasi hambatan perdaganga; 7). Menggiatkan investasi
asing; 8). Privatisasi atas BUMN; 9). Deregulasi peraturan untuk terbukanya
pasar domestic; dan 10). Perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual.
Boni Setiawan mengemukakan delapan
ciri menonjol dari WTO: pertama, WTO adalah sebuah badan yang
memiliki otoritas dan kewenangan atas berbagai pengaturan tingkat dunia
terhadap anggotan-anggotanya berdasarkan kesepakatan perundingan. Kedua, WTO memiliki 3 prinsip dasar
untuk meliberalisasi ekonomi domestic, ketiga,
WTO merupakan kontrak seumur hidup, keempat,
WTO mengenal istilah progressive
liberalization yakni prinsip liberalisasi yang dilakukan secara hebat dan
terus menerus, kelima, WTO merupakan
rezim pasar bebas yang menolak sepenuhnya proteksionisme, keenam, WTO memperkuat rezim “Intelectual
Property Right”, ketujuh, WTO
memperkuat dominasi negara maju di meja perundingan dengan mekanisme consensus,
kedelapan, WTO dalam kenyataannya
membawa agenda kepentingan negara maju. Hal ini dapat dilihat bahwa negara maju
ingin negara berkembang membuka pasarnya karena negara berkembang memiliki
buruh murah dan sumber daya alam yang bisa dieksploitasi. Jadi, jelas bahwa WTO
merupakan ‘alat’ negara maju untuk mendominasi negara berkembang, tak
terkecuali Indonesia.
WTO tidak hanya mengatur mengenai
perdagangan bebas barang (produk) tetapi juga jasa (service). Dalam pandangan neoliberal memang mengharuskan tidak
adanya kepemilikian publik atau bersama dan mengurangi subsidi yang menyangkut
publik seperti kesehatan, lingkungan, dan tentunya pendidikan. Neoliberal
melihat segalanya adalah komoditas yang bisa diperjualbelikan demi mendapat
keuntungan dan akumulasi modal. Sejak 1995 Indonesia telah menjadi anggota WTO
dengan diratifikasinya semua perjanjian-perjanjian perdagangan multilateral
menjadi UU No, 7 tahun 1994. Perjanjian tersebut mengatur tata-perdagangan
barang, jasa dan trade related intellectual property rights (TRIPS) atau hak
atas kepemilikan intelektual yang terkait dengan perdagangan.
Salah satu bidang jasa yang diatur
WTO adalah pendidikan. Logika perdagangan jasa pendidikan, sebagaimana
diutarakan oleh Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Sofian Effendi
mengikuti tipologi yang digunakan oleh para ekonom dalam membagi kegiatan usaha
dalam masyarakat. Ilmu ekonomi membagi 3 sektor kegiatan usaha dalam
masyarakat. Pertama adalah sektor Primer mencakup semua industri
ekstraksi hasil pertambangan dan pertanian. Kedua, sektor sekunder
mencakup industri untuk mengolah bahan dasar menjadi barang, bangunan, produk
manufaktur dan utilities. Dan ketiga, sektor tersier yang
mencakup industri-industri untuk mengubah wujud benda fisik (physical
services), keadaan manusia (human services) dan benda simbolik (information
and communication services). Sejalan dengan pandangan ilmu ekonomi
tersebut, WTO menetapkan pendidikan sebagai salah satu industri sektor tersier,
karena kgiatan pokoknya adalah mentransformasi orang yang tidak berpengetahuan
dan orang yang tidak mempunyai keterampilan menjadi orang yang berpengetahuan
dan mempunyai keterampilan.
Komersialisasi pendidikan sekarang
perlu disikapi dengan kritis. Pertama, pendidikan adalah hak setiap warga
negara Indonesia. komersialisasi pendidikan tentu saja akan membatasi akses
pendidikan bagi masyarakat yang tidak memliki modal, kedua, Pendidikan juga
sangat vital peranannya dalam mentransfer nilai-nilai dan jati diri bangsa (van
Glinken, 2004). Jadi kalau pendidikan berbasis liberal maka bangsa kita akan
tumbuh dengan pandangan liberal. Pendidikan yang diperdagangkan berlandaskan
pada motif for profit bukan untuk
mengembangkan pengetahuan masyarakat. Oleh karena itu pendidikan seharusnya
tidak diperdagangkan. Pada tahun 2000 ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai
US $ 14 milyar. Di Inggris sumbangan ekspor pendidikan mencapai 4 persen dari
total penerimaan sektor jasa negara tersebut. Demikian juga dengan Australia,
yang pada tahun 1993, ekspor jasa pendidikan dan pelatihan telah menghasilkan
AUS $ 1,2 milyar (data Intellegent export).
Tidak mengherankan tiga negara tersebut yang amat getol menuntut sektor jasa
pendidikan melalui WTO.
WTO telah mengidentifikasi 4 mode
penyediaan jasa pendidikan sebagai berikut: (1) Cross-border supply, institusi
pendidikan tinggi luar negeri menawarkan kuliahkuliah melalui internet dan
on-line degree program, atau Mode 1; (2) Consumption abroad, adalah
bentuk penyediaan jasa pendidikan tinggi yang paling dominan, mahasiswa belajar
di perguruan tinggi luar negeri atau Mode 2; (3) Commercial presence,
atau kehadiran perguruan tinggi luar negeri dengan membentuk partnership,
subsidiary, twinning arrangement dengan perguruan tinggi lokal., atau
Mode 3, dan (4) Presence of natural persons, dosen atau pengajar asing
mengajar pada lembaga pendidikan lokan, atau Mode 4. Liberalisasi pendidikan
tinggi menuju perdagangan bebas jasa yang dipromosikan oleh WTO adalah untuk
mendorong agar pemerintah negaranegara anggota tidak menghambat empat mode
penyediaan jasa tersebut dengan kebijakan-kebijakan intervensionis.
Kebijakan tersebut telah berlangsung
di Indonesia sejak dalam perundingan Council for Trade in Services, Special
Session pada tanggal 21 Februari 2005, Indonesia telah men-table initial offers-nya pada Sekretariat WTO. Initial offers Indonesia terdiri dari sektor/sub sektor bisnis
(terkait dengan jasa hukum), jasa konstruksi, jasa maritim, jasa keuangan, jasa
energi, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan. Kini Konferensi Tingkat Menteri
(KTM) IX WTO akan digelar di Bali, Indonesia pada bulan desember 2013. Pertemuan
tersebut akan membahas bagaimana kelanjutan perdagangan bebas dalam sektor
pertanian, pendidikan, dan perdagangan barang agar negara anggota tidak
menghambat perdagangan bebas. Jika kita menganalisa bagaimana posisi WTO dalam
pertumbuhan ekonomi di dunia, sederhana saja menjawabnya. Sejak terbentuk 1995
WTO telah gagal dengan berbagai krisis 1997 dan kini 2008. Jika WTO membuat
rakyat makmur, mengapa Indonesia dan negara berkembang lainnya tetap menempati
angka kemiskinan yang tinggi?. Dan kalau alasan liberalisasi pendidikan agar
mencerdaskan bangsa, mengapa masyarakat Indonesia sulit mengakses pendidikan?.
Mari berdiskusi.
Referensi :
Adam
Smith.1964. The Wealth of Nations, New
York: Dutton
Budi
Winarno.2011. Isu-Isu Global Kontemporer.
Yogyakarta: CAPS
Budi
Winarno.2009. Pertarungan Negara Versus Pasar. Yogyakarta : Medpress
Herry
B. Priyono.2003. Dalam Pusaran
Neoliberalisme. Yogyakarta: Cinderalas Pustaka Rakyat Cerdas
Scott
Burchil dan Andrew Linklater. 2009. Teori-Teori
Hubungan Internasional. Bandung: Nusa Media.