Disampaikan pada
diskusi koridor KOSKIP HIMAPEM 16 Juni 2013
Oleh : Abdullah Fikri
Ashri (HIMAHI)
Bulan
Juni ini rencana untuk menaikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) kembali
disuarakan oleh pemerintah. hal ini memang bukan sesuatu yang baru, sehingga
rencana kenaikan BBM ini tentu harus dianalisa seobyektif mungkin. Pro kontra
tentang kenaikan BBM menjadi pembicaraan hangat di media. Pihak pro mengatakan
demi menyelematkan perekonomian nasional kenaikan BBM merupakan solusinya,
sedangkan pihak kontra memandang kenaikan BBM tidak berdasar data valid atau
hanya merupakan politisasi menjelang pemilu.
Perspektif
ekonomi politik internasional penting dikaji dalam kasus kenaikan BBM
Indonesia. alasannya sederhana, minyak Indonesia kebanyakan merupakan impor,
sehingga kondisi minyak di pasar global pasti berpengaruh dengan Indonesia.
jadi jika harga minyak dunia naik, maka Indonesia harus menyesuaikan harga
minyak nasionalnya. Harga minyak mentah di pasar dunia berkisar 90 dollar AS
per barrel, harga wajar premium Rp. 7.000 per liter, yang berarti ada subsidi
Rp. 2.500 per liter. Besarnya subsidi BBM inilah yang dianggarkan sebesar Rp.
305 Triliun (sekitar 20 % dari APBN lebih besar dari belanja modal pemerintah
dan anggaran investasi saranan BUMN) dan mengakibatkan Indonesia mengalami
deficit. Jadi, menaikkan harga BBM menjadi rasional.karena jika tidak jumlah
deficit akan terus meningkat dan membebani pemerintahan selanjutnya. Namun,
bukankah Indonesia merupakan negara minyak yang dulu masuk dalam OPEC? Mengapa
tergantung dengan minyak impor? Bukankah anggaran APBN lebih banyak dihabiskan
oleh koruptor? Dan bukankah kenaikan BBM tidak hanya kali ini saja, lalu tahun-tahun
kemarin apa hasil dari pergolakan rakyat melawan kenaikan BBM?
Membicarakan
Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kondisi ekonomi politik internasional.
kemenangan ideology liberal-kapitalis pasca perang dingin tentu berpengaruh di
berbagai negara termasuk Indonesia. logika kapitalisme yang over production dan accumulative (akumulasi modal) yakni produksi yang berlebih harus
di distribusikan di negara lain demi mengumpulkan modal sebanyak-banyaknya. Hal
inilah yang mengakibatkan setiap negara harus membuka pasarnya dan meminimalisr
hambatan perdagangan. Dalam kasus Indonesia, pasar bebas sudah mulai diterapkan
sejak UU Penanaman Modal Asing 1967 hingga kini. Indonesia tentu saja menjadi
sasaran negara kapitalis karena SDA yang melimpah dan Buruh yang murah. Apalagi
setelah krisis 1997, peran IMF sangat memperngaruhi perekonomian Indonesia.
terkait dengan minyak, tahun 2001 kebijakan energy Indonesia beralih ke pasar
global melalui Letter of Intent IMF.
Hal inilah yang mengakibatkan ketergantungan minyak Indonesia dengan pasar
global dalam hal ini NYMEX (New York Mercantile Exchange, Inc).
Berlimpah ruahnya sumber daya alam di sebuah negara
sering kali tidak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan dan keadilan
yang dirasakan oleh masyarakatnya. Sehingga tidak salah kalau kondisi ini
disebut Stiglitz sebagai hasil dari ”kutukan sumber daya alam (natural
resources curse)”. Stiglitz melanjutkan bahwa dinamika politik di
negara-negara yang kaya sumber daya alam seringkali mengarah kepada
ketidakadilan. Hal ini terjadi pada negara maju dan berkembang yang kekayaan
sumber daya alamnya digunakan untuk menguasai ekonomi dan politik termasuk
usaha untuk memperkaya diri sendiri dengan hasil sumber daya alam tersebut.
Jadi, yang membuat SDA terkutuk yakni orang-orang serakah berikut sistem
kapitalisnya. Penghapusan subsidi, kenaikan BBM, dan juga masuknya perudahaan
minyak seperti Shell dan Chevron merupakan hal niscaya dalam logika
kapitalisme. Sekali lagi, pemerintah tidak punya rencana jangka panjang terkait
kebijakan energi. Jadi, haruskah BBM
naik? Mari mendiskusikannya.
Good Post ;)
BalasHapus