Maaf Anda Tersesat!

Coba lagi. Jangan menyerah!

Senin, 01 Oktober 2012

FALSAFAH PENDIDIKAN YANG TERLUPAKAN



Pendidikan itu untuk memanusiakan manuisa…(Paulo Freire)
Pendidikan tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Pendidikan hadir layaknya manusia yang lahir. manusia tanpa pendidikan tidak pernah bisa melangsungkan kehidupannya, hal inilah yang membedakannya dengan hewan. Hewan apapun jenisnya tidak memerlukan pendidikan karena hewan cenderung hidup dalam keadaan stabil, tanpa ada perubahan atau perkembangan. Semua hewan hanya mengalami stabilitas perubahan fisis, bukan psikis. Seekor ikan misalnya, hanya bisa hidup di habitatnya yakni perairan. Air bagi ikan mutlak adanya, dan jika diangkat dari air, sudah pasti ikan itu mati. Tetapi, perubahan dan perkembangan pada manusia mutlak diperlukan. Sejak lahir, bayi manusia masih berada dalan potensi yang harus diubah, dibentuk, selanjutnya dikembangkan oleh orangtuanya melalui perawatan dan pengasuhansampai dewasa dan bisa hidup sendiri. Singkatnya, pendidikan itu hak setiap orang!.
Pendidikan secara harfiah berasal dari bahasa latin ‘educare’, dapat diartikan sebagai pembimbingan secara berkelanjutan (to lead forth). Arti tersebut merupakan suatu pengakuan bahwa manusia adalah makhluk yang bersifat labil. Artinya sepanjang hidupnya tidak pernah berada dalam kecukupan baik secara lahir maupun batin, baik secara individual maupun sosial. (Suparian Suhartono: Wawasan Pendidikan, sebuah pengantar pendidikan). Pendidikan kemudian diasosiasikan dengan Sekolah, yang dalam implementasinya sangat jauh dari esensi dan substansi sekolah. Sekolah atau school dapat dilacak dari kata Latin seperti skhole, scola, scolae, yang dipergunakan sekitar awal abad XII. Arti harafiahnya adalah "waktu luang" atau "waktu senggang". Dengan demikian agaknya bersekolah pada awalnya tak lain adalah leisure devoted to learning (waktu luang yang digunakan secara khusus untuk belajar). Dalam artian, sekolah seharusnya tidak terbatas oleh ruang dan waktu. waktu senggang inilah yang digunakan untuk berkumpul dan belajar dalam bentuk sharing dan membahas hal-hal yang dianggap penting.


Begitulah awal sekolah muncul sebagai sebuah pembelajaran dari orangtua/orang yang dianggap tahu kepada anaknya mengenai berbagai hal seperti bertani, beternak, menulis dan lainnya. Menurut Roem Topatimasang:Sekolah itu Candu, perkembangan zaman membuat manusia sudah tidak mampu dan memiliki waktu untuk mentransformasi nilai-nilai hidup dan pengetahuan kepada anak-anak mereka, maka manusia mulai membutuhkan bantuan dari manusia lain. Bantuan ini kemudian termanifestasi dalam scola in loco (lembaga pengasuhan anak pada waktu senggang di luar rumah, sebagai pengganti ayah dan ibu) yang sebelumnya berbentuk scola matterna (pengasuhan ibu sampai usia tertentu). Hingga sekarang sekolah (TK – Universitas) dilembagakan dan dijadikan sebuah kewajiban oleh pemerintah.
Sekolah kemudian dijadikan beberapa jenjang yang salah dalam memahami esensi pendidikan yang otomatis tidak tepat guna dalam penerpannya. Sejak TK, anak-anak tidak lagi diberikan waktu bermain dan menimbulkan kreatifitas tetapi diberikan tugas untuk harus bisa membaca dan menulis. Kemudian, SD, SMP, SMU menjadi tempat injeksi mengenai prestasi yang akhirnya menjadikan setiap pelajar saling berkompetisi dengan cara apapun, bukan pada injeksi bahwa di sekolah merupakan nilai-nilai edukasi. Hingga kuliah, dimana para mahasiswa dibuat mati ranah kritisnya dan hanya berorientasi pada praksisnya saja. Jadi, sekolah tidak ada bedanya dengan pabrik yang setiap tahunnya mencetak para buruh’pekerja’ yang siap terjun dalam dunia kerja yang ujungnya akan meng’alienasi’ para pekerja.
Pemerintah yang mewajibkan sekolah akhirnya membuat sekolah menjadi komoditas. Sekolah tidak lagi menjadi wadah saling berbagi nilai-nilai kehidupan, tetapi menjadi lahan bisnis yang akan selalu dibutuhkan masyarakat dan tentu harus berkorban apapun demi mengenyam pendidikan. Dalam realitasnya lihat saja biaya pendidikan yang semakin melonjak, Bank-Bank di lokasi kampus, korporasi-korporasi kebanggaan kampus, hingga partai politik dan politisi yang menguasai kampus. Sekolah sebagai komoditas akhirnya menjadikan stigma masyarakat bahwa anggaran untuk pendidikan berbanding lurus dengan mutu pendidikan. Padahal, ika 2005 anggaran yang tersedia hanya Rp 33,40 triliun atau 8,1 persen dari APBN, untuk tahun 2010 ini mencapai Rp 209,54 triliun atau sesuai ambang batas yang ditetapkan undang-undang yakni 20 persen dari total APBN, toh mutu pendidikan kita tidak berubah. Menurut laporan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk bidang pendidikan, United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO), yang dirilis pada tanggal 29 November 2007 menunjukkan peringkat Indonesia dalam hal pendidikan turun dari 58 menjadi 62 dari 130 negara di seluruh dunia. Indikasinya, Education Development Index (EDI) Indonesia adalah 0.935, di bawah Malaysia (0.945) dan Brunei Darussalam (0.965).
Sejak dahulu, esensi pendidikan tidak pernah tersampaikan. Pahaman yang muncul adalah belajar itu hanya di tempat dan waktu sekolah/kampus. Padahal, jika dipahamai, pendidikan itu mutlak dan ada untuk memanusiakan manusia. Pendidikan itu tidak dibatasi oleh beberapa orang, ruang kelas, ataupun jam pembelajaran….


*tulisan ini pernah diterbitkan di media kampus Identitas