Pendidikan itu untuk memanusiakan
manuisa…(Paulo Freire)
Pendidikan
tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Pendidikan hadir layaknya manusia
yang lahir. manusia tanpa pendidikan tidak pernah bisa melangsungkan
kehidupannya, hal inilah yang membedakannya dengan hewan. Hewan apapun jenisnya
tidak memerlukan pendidikan karena hewan cenderung hidup dalam keadaan stabil,
tanpa ada perubahan atau perkembangan. Semua hewan hanya mengalami stabilitas
perubahan fisis, bukan psikis. Seekor ikan misalnya, hanya bisa hidup di
habitatnya yakni perairan. Air bagi ikan mutlak adanya, dan jika diangkat dari
air, sudah pasti ikan itu mati. Tetapi, perubahan dan perkembangan pada manusia
mutlak diperlukan. Sejak lahir, bayi manusia masih berada dalan potensi yang
harus diubah, dibentuk, selanjutnya dikembangkan oleh orangtuanya melalui
perawatan dan pengasuhansampai dewasa dan bisa hidup sendiri. Singkatnya,
pendidikan itu hak setiap orang!.
Pendidikan
secara harfiah berasal dari bahasa latin ‘educare’,
dapat diartikan sebagai pembimbingan secara berkelanjutan (to lead forth). Arti tersebut merupakan suatu pengakuan bahwa
manusia adalah makhluk yang bersifat labil. Artinya sepanjang hidupnya tidak
pernah berada dalam kecukupan baik secara lahir maupun batin, baik secara
individual maupun sosial. (Suparian Suhartono: Wawasan Pendidikan, sebuah
pengantar pendidikan). Pendidikan kemudian diasosiasikan dengan Sekolah, yang dalam implementasinya
sangat jauh dari esensi dan substansi sekolah. Sekolah atau school dapat dilacak dari kata Latin seperti skhole,
scola, scolae, yang dipergunakan sekitar awal abad XII. Arti harafiahnya
adalah "waktu luang" atau "waktu senggang". Dengan demikian
agaknya bersekolah pada awalnya tak lain adalah leisure devoted to learning (waktu
luang yang digunakan secara khusus untuk belajar).
Dalam artian, sekolah seharusnya tidak terbatas oleh ruang dan waktu. waktu
senggang inilah yang digunakan untuk berkumpul dan belajar dalam bentuk sharing dan membahas hal-hal yang
dianggap penting.
Begitulah
awal sekolah muncul sebagai sebuah pembelajaran dari orangtua/orang yang
dianggap tahu kepada anaknya mengenai berbagai hal seperti bertani, beternak,
menulis dan lainnya. Menurut Roem
Topatimasang:Sekolah itu Candu, perkembangan zaman membuat manusia sudah
tidak mampu dan memiliki waktu untuk mentransformasi nilai-nilai hidup dan
pengetahuan kepada anak-anak mereka, maka manusia mulai membutuhkan bantuan
dari manusia lain. Bantuan ini kemudian termanifestasi dalam scola in loco
(lembaga pengasuhan anak pada waktu senggang di luar rumah, sebagai pengganti
ayah dan ibu) yang sebelumnya berbentuk scola matterna (pengasuhan ibu
sampai usia tertentu). Hingga sekarang sekolah (TK – Universitas) dilembagakan
dan dijadikan sebuah kewajiban oleh pemerintah.
Sekolah
kemudian dijadikan beberapa jenjang yang salah dalam memahami esensi pendidikan
yang otomatis tidak tepat guna dalam penerpannya. Sejak TK, anak-anak tidak
lagi diberikan waktu bermain dan menimbulkan kreatifitas tetapi diberikan tugas
untuk harus bisa membaca dan menulis. Kemudian, SD, SMP, SMU menjadi tempat
injeksi mengenai prestasi yang akhirnya menjadikan setiap pelajar saling
berkompetisi dengan cara apapun, bukan pada injeksi bahwa di sekolah merupakan
nilai-nilai edukasi. Hingga kuliah, dimana para mahasiswa dibuat mati ranah
kritisnya dan hanya berorientasi pada praksisnya saja. Jadi, sekolah tidak ada
bedanya dengan pabrik yang setiap tahunnya mencetak para buruh’pekerja’ yang siap terjun dalam dunia kerja yang ujungnya
akan meng’alienasi’ para pekerja.
Pemerintah
yang mewajibkan sekolah akhirnya membuat sekolah menjadi komoditas. Sekolah tidak lagi menjadi wadah saling berbagi
nilai-nilai kehidupan, tetapi menjadi lahan bisnis yang akan selalu dibutuhkan
masyarakat dan tentu harus berkorban apapun demi mengenyam pendidikan. Dalam
realitasnya lihat saja biaya pendidikan yang semakin melonjak, Bank-Bank di
lokasi kampus, korporasi-korporasi kebanggaan kampus, hingga partai politik dan
politisi yang menguasai kampus. Sekolah sebagai komoditas akhirnya menjadikan
stigma masyarakat bahwa anggaran untuk pendidikan berbanding lurus dengan mutu
pendidikan. Padahal, ika 2005 anggaran yang tersedia hanya Rp 33,40 triliun atau
8,1 persen dari APBN, untuk tahun 2010 ini mencapai Rp 209,54 triliun atau
sesuai ambang batas yang ditetapkan undang-undang yakni 20 persen dari total
APBN, toh mutu pendidikan kita tidak berubah. Menurut laporan Badan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk bidang pendidikan, United Nation
Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO), yang dirilis pada
tanggal 29 November 2007 menunjukkan peringkat Indonesia dalam hal pendidikan
turun dari 58 menjadi 62 dari 130 negara di seluruh dunia. Indikasinya,
Education Development Index (EDI) Indonesia adalah 0.935, di bawah Malaysia
(0.945) dan Brunei Darussalam (0.965).
Sejak
dahulu, esensi pendidikan tidak pernah tersampaikan. Pahaman yang muncul adalah
belajar itu hanya di tempat dan waktu sekolah/kampus. Padahal, jika dipahamai,
pendidikan itu mutlak dan ada untuk memanusiakan manusia. Pendidikan itu tidak
dibatasi oleh beberapa orang, ruang kelas, ataupun jam pembelajaran….
*tulisan ini pernah diterbitkan di media kampus Identitas