Maaf Anda Tersesat!

Coba lagi. Jangan menyerah!

Jumat, 25 Februari 2011

Tidurlah....

malam ini aku tak pulang... itulah kalimat yang terucap di bibirku yang dipertegas dengan pesan yang ku kirim melalui satelite pengawasku. malam ini ada yang harus kuselesaikan. sesuatu yang sederhana tetapi sarat akan makna, yakni membuat pataka dan spanduk. setelah dua minggu yang lalu hanya bisa terpaku dalam perseginya kamar dengan jadwal makan bubur yang terngiang terus, akhirnya aku bisa kembali menikmati hari-hariku dalam dunia yang singkat dan dipenuhi dengan proses belajar. begitulah prolog goresan ini. sudah seminggu ini aku kembali ke rumah ketika arah jarum jam telah melewati pukul 24.00. tidak ada yang berbeda, dari dulu pun begitu. saat aku pulang, gembok pagar telah siap di depan pintu, menandakan akulah yang ditunggu untuk membuat rumah batu beserta isinya ini merasa aman. setelah membuat segalanya merasa aman, seperti biasa kutemukan sosok yang telah menugguku meski sosok itu berspekulasi sedang bercengkrama dengan layar persegi yang selama ini membentuk opini masyarakat dan membuat kita bodoh. ku tahu dia berspekulasi, karena setetalah aku masuk dalam kamar persegi, dia akhirnya mematikan layar persegi dan beranjak mamanjakan mimpi dalam malam yang tinggal 1/3 karena kutahu esok pagi-pagi buta dia harus bangun dan menunaikan kewajibannya. begitulah malam-malam ku, terjadi layaknya skenario yang sudah ku tulis. rasa amarah sering muncul saat mengetahui dia belum terbaring ketika aku masih memaknai hidup di dunia singkat ini. kata-kata Ah!! sering terlontar di bibirku. aku sering menjelaskan hal ini, namun dia tetap belum bisa memejamkan mata dengan tenang saat mengetahui aku belum tiba. malam ini, sebelum beranjak, ku titipkan pesan padanya...
tidurlah...tidurlah...Mam, jangan menungguku....
terima kasih telah mengabdikan hidup untuk memperhatikanku..

tulisan ini di dedikasikan untuk seseorang yang mengijinkanku hidup di tubuhnya selama 9 bulan.

IMF (International Manipulation Fund) & WB (Wicked Bank)


Saya lebih setuju mengatakan IMF itu International Manipulation Fund dan WB sebagai Wicked Bank. Jadi, bisa dipastikan kedua lembaga keuangan internasional ini berdampak negatif. IMF dan WB lahir dari konferensi Bretton Woods yang mengatur mengenai sistem nilai mata uang asing tetap dan menjaga kestabilan moneter internasional. Konsep IMF dan WB ini awalnya muncul setelah PD II yang mengakibatkan kehancuran ekonomi negara-negara yang terlibat perang (Eropa). Dalam perkembangannya, IMF dan WB menjadi jawaban dalam doa negara yang krisis dan negara berkembang yang termakan teori modernisasi kaum ekonomi liberal. Pemikiran dasarnya adalah negara berkembang seyogyanya mengikuti jalur pembangunan dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri. Telah menjadi keharusan untuk menuju masyarakat industri membutuhkan modal yang besar, dan teknologi modern, maka pinjaman menjadi solusinya. IMF dan WB adalah lembaga yang menyediakan pinjaman tersebut. Masalahnya adalah IMF dan WB memberikan utang dan conditionality(SAP) yang membuat dependensi. Kondisionalitas adalah segala persyaratan yang diberikan negara donor kepada negara penerima bantuan luar negeri dimana pihak penerima harus bersedia untuk melaksanakan persyaratan tersebut. Kondisonalitas mencakup; penyesuaian (devaluasi) mata uang lokal dan/atau floating nilai tukar tetap, liberalisasi perdagangan, deregulasi, privatisasi, melapaskan pengendalian atas suku bunga, memotong anggaran negara, termasuk menghapus subsidi konsumen. Bagi IMF, secara keseluruhan program tersebut merupakan policy program suatu negara yang dideskripsikan dalam Letter of Intent yang kemungkinan disertai dengan Memorandum of Economic and Financial Policies untuk diajukan sebagai pinjaman. IMF dan WB didominasi oleh G7, sehingga bisa diprediksi IMF dan WB tidak fokus lagi terhadap pertukaran mata uang, stabilasi ekonomi, dan memerangi kemiskinan melainkan negara G7 men’dikte’ negara berkembang yang juga anggota IMF & WB.
IMF dan WB berdampak pada instabilitas politik suatu negara, termasuk protes anti pemerintah serta kekacauan akibat naiknya harga. Kebijakan Pemerintah Yaman untuk menaikkan harga minyak dua kali lipat dari harga sebalumnya adalah bagian dari program reformasi ekonomi IMF/WB padahal menururt UNDP dalam HDI bahwa Yaman menempati peringkat 149 dari 177 negara kurang berkembang pada 2004, dan 42 % masyarakatnya hidup dalam kemiskinan. Kebijakan ini berakibat 13 orang tewas dalam demonstrasi. Intervensi IMF bahkan telah menantang kedaulatan nasional negara peminjam. Di Nicaragua, IMF mengancam menunda pinjaman yang baru ditandatanganinya karena pihak legislatif memberi dana lebih kepada pemerintah lokal guna perbaikan sector publik. IMF/WB juga berdampak negatif pada perekonomian negara berkembang. Negara berkembang menempuh ‘jalan sulit’ karena ingin membayar utang, misalnya; membujuk masuknya investor dengan menwarkan buruh murah. Sebagai akibatnya negara berkembang menjadi “tawanan ekonomi”, membuat produk-produk murah untuk di ekspor sementara mengimpor barang-barang dari perusahaan di Amerika dan Eropa. Menyangkut gaji buruh rendah, IMF/WB telah menekan Pemerintah Meksiko dan Haiti untuk mengeksploitasi buruh dan menghapus upah minimum.
Dampak negative IMF/WB pada bidang pendidikan adalah pengurangan anggaran pendidikan nasional demi angsuran pinjaman luar negeri. Kondisi ini terjadi di Zambia yang menghabiskan $ 1.3 milyar untuk pembayaran utang. Pembayaran kepada IMF ini setara dengan sepuluh kali biaya pemerintah untuk bidang pendidikan. Pada tahun 1997, sebesar 40 % anggaran nasional Zambia digunakan untuk membayar utang, dan hanya 7 % untuk pendidikan dasar, kesehatan, sanitasi, dan nutrisi. Pada bidang kesehatan, dampak negative IMF/WB adalah privatisasi atas perusahaan-perusahaan dan layanan negara. Privatisasi ini merupakan pengingkaran akses bagi masyarakat miskin untuk “sehat”. Di Afrika, untuk mencegah HIV/AIDS hanya 2,8 % dari pembelanjaan global, padahal kawasan tersebut berisi 10 % populasi dunia dan mencakup dua pertiga infeksi HIV dunia. IMF/WB juga berdampak negative pada aspek lingkungan. Secara sederhana, apabila negara telah mendapatkan SAP (Structural Adjustment Program), maka negara tersebut akan mendorong investor(MNC) masuk agar dapat melunasi utangnya dan kadang melupakan regulasi yang berlaku. Di Guyanan, IMF telah memaksa pengurangan anggaran kementerian lingkungan hidup sehingga memperlemah penegakan hukum lingkungan. Pada saat bersamaan, IMF mendorong pemerintah meningkatkan ekspor kayu, memperlonggar peraturan lingkunganan yang mengakibatkan Illegal logging dan degradasi lingkungan.
Fenomena pinjaman luar negeri tidak lain adalah neoimperialisme, yakni hegemoni negara maju kepada negara berkembang dengan berbagai cara yang bukan penjajahan fisik. Kita bahkan tidak sadar dengan keadaan ini. Utang luar negeri merupakan mekanisme yang sengaja diciptakan agar negara berkembang menjadi “dependensi” sehingga melakukan apapun yang di’dikte’kan oleh negara maju. IMF/WB merupakan penyebar paham kapitalis liberal dan menafikan kesiapan negara peminjam, kestabilan politik negara peminjam, dan korupsi yang rentan terjadi di negara berkembang. Utang itu memiskinkan.

Sumber:
Jakson, & Sorensen, 2009, Pengantar Studi Hubungan Internasional, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Leviza, Jelly, 2009, Tanggung Jawab Bank Dunia Dan IMF Sebagai Subjek Hukum Internasional (studi tentang dampak negative kondisionalitas pinjaman Bank Dunia dan IMF di Indonesia), Jakarta: PT.SOFMEDIA
Lliod & Steans, 2009, Hubungan Internasional Perspektif dan Tema, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Rabu, 23 Februari 2011

CSR AQUA (DANONE)

Aqua merupakan merek air minum dalam kemasan yang diproduksi oleh PT AQUA Golden Mississippi di Bekasi pada tahun 1973. Pada tahun 1984 Pabrik Aqua kedua didirikan di Pandaan,Jawa Timur. Sejak tahun 1998, Aqua sudah dimiliki oleh perusahaan multinasional dari perancis, Danone hasil dari penggabungan Aqua Golden Mississippi dengan Danone. Hingga 2001, Danone meningkatkan kepemilikan saham di PT Tirta Investama dari 40 % hingga 74 %, daan merupakan pemegang saham terbanyak di aqua group. Kita ketahui bahwa Aqua merupakan MNCs. Dalam perkembangan hubungan internasional MNC menjadi aktor yang cukup dominan. Apa sebenarnya motif MNC (Aqua/Danone) masuk ke Indonesia?. MNCs memiliki dua factor yang menjadi motifnya, yakni faktor permintaan dan faktor biaya. Faktor permintaan di dasarkan pada tekanan profit. Tekanan untuk mendapatkan keuntungan membuat MNCs atau Aqua/Danone mencari daerah-daerah yang mampu memberikan sumber-sumber produksi baru, di pilihlah Indonesia. Faktor kedua yakni biaya, bagaimana MNCs atau Aqua/Danone menurunkan biaya produksi dengan tujuan memaksimalkan profit dan juga menjaga daya saing internasional atas produk yang dihasilkan. Penurunan biaya produksi ini dapat dilakukan dengan tersedianya bahan baku hingga tenaga kerja (buruh) rendah. Menurut saya jelaslah motif Aqua/Danone menjadi perusahaan di Indonesia.
Dalam menjalankan kinerja perusahaan, perusahaan transnasional menganut konsep CSR (Corporate Social Responsibility). Menurut Archie B. Carroll ada empat prinsip dasar CSR sehingga MNCs telah dianggap menjalankan CSR, yakni:
a) Economic Responsibility, perusahaan haruslah mampu menguasai pangsa pasar dan menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan konsumen dengan harga yang pantas.
b) Legal Responsibility, perusahaan harus melaksanakan bisnisnya sesaui hokum yang berlaku.
c) Ethical Responsibility, tanggung jawab etis oleh perusahaan dalam aktivitasnya.
d) Philantrophic Responsibility, perusahaan turut serta dalam kegiatan kemasyarakatan secara sukarela.
Aqua/Danone telah melakukan CSR. Pada tahun 2002 Banjir besar yang melanda Jakarta pada awal tahun menggerakkan perusahaan untuk membantu masyarakat dan juga para karyawan AQUA sendiri yang terkena musibah tersebut. AQUA menang telak di ajang Indonesian Best Brand Award. Mulai diberlakukannya Kesepakatan Kerja Bersama [KKB 2002 - 2004] pada 1 Juni 2002. Pada tahun 2005 Aqua/Danone membantu korban tsunami di Aceh. Aqua/Danone juga membuat DANONE Nations Cup (DNC), DANONE AQUA ingin memberikan kesempatan pada anak-anak, berusia 10-12 tahun, di seluruh dunia untuk menjadi bagian dari kompetisi sepak bola bertaraf internasional. Sejak pertama kali digelar, tercatat sudah lebih dari 15 juta anak-anak dari 40 negara di dunia aktif berpartisipasi dalam DNC. Dalam perkembangannya, DNC ingin terus memupuk antusiasme, sportivitas, keterbukaan dan persahabatan sejak dini dalam ajang sepakbola khusus anak-anak bertaraf internasional.
Aqua/Danone juga membuat program “Satu untuk Sepuluh”, AQUA ingin berkontribusi secara proaktif dan berkelanjutan untuk memberikan solusi terhadap permasalahan yang ada, termasuk kesulitan akses air bersih di Indonesia demi mewujudkan peningkatan kebiasaan hidup sehat keluarga. Caranya, setiap pembelian 1L AQUA (dengan label khusus), AQUA berkomitmen untuk memberikan fasilitas penyediaan akses terhadap 10L air bersih. Program khusus dari DANONE AQUA ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran kebiasaan hidup sehat melalui penyediaan akses air bersih dan edukasi mengenai kesehatan bagi daerah yang membutuhkan. Untuk saat ini, program ini sedang dilaksanakan di kecamatan Boking dan Amanatun Utara, NTT.

Namun, apakah MNCs yang bermotif profit secara Cuma-Cuma membuat CSR itu? Dalam perspektif strukturalis, tentu saja CSR ini hanya tipuan kelas borjuis. Aqua/Danone digerakkan oleh para borjuis yang dapat menembus pasar dan menjadikan pemerintah/Negara sebagai instrument dalam melancarkan incaran profit MNCs. Berdasarkan fakta dan laporan LSM/WALHI, bahwa Danone telah mengeksploitasi sumber mata air di Kubang, Jawa Tengah Sukabumi. Akibatnya air untuk irigasi berkurang dan kadar air tawar berkurang, Aqua juga mengambil 18 liter air per detik, dan ketersediaan air di klaim milik individu oleh para borjuis Aqua. Akibatnya petani dan masyarakat sekitar menjadi antitesa para borjuis. Ironisnya, dibalik pencitraan program satu untuk seribu Aqua/Danone, masyarakat sekitar dan petani sulit mendapat air.

Minggu, 06 Februari 2011

Mcdonaldisasi


Pada tahun 1937, Amerika di hantui kebiasaan yang baru. Carl N. Karcher adalah seorang penggagas industri fast food. Sekitar tahun ini Anerika menjadi ladang pertama makanan cepat saji. Sejak itu, makanan cepat saji menjadi layaknya makanan primer yang berjalan lurus dengan semakin sempitnya dunia. Makanan cepat saji semakin melanggengkan jalan globalisasi. Setelah sukses di Amerika, makanan cepat saji menembus batas-batas Negara lain, tak terkecuali Indonesia.
Selama tiga dasawarsa terakhir, fast food telah merembes ke semua celah Negara. Makanan cepat saji kini telah hadir di restoran, stadion, bandara, mall, pom bensin, hingga sekolah. Tahun 1970, masyarakat Amerika membelanjakan sekitar 6 miliar dolar untuk fast food, tahun 2001 mereka membelanjakan lebih dari 110 miliar dolar. Orang Amerika kini membelanjakan lebih banyak uang untuk fast food ketimbang untuk pendidikan, computer, atau mobil. Pada hari apapun di Amerika, seperempat penduduk dewasanya mengunjungi restoran fast food. Selama rentan waktu yang relatif singkat, industri ini telah berperan mengubah tidak hanya pangan, tetapi ekonomi, angkatan kerja, dan budaya pop.
Salah satu fast food yang berkembang pesat adalah McDonald’s Corporation. McDonald’s telah menjadi lambing ekonomi USA. Sekitar 90 % lapangan kerja di negeri itu ditanggung oleh McDonalds. Tahun 1968, McDonalds mengoperasikan sekitar seribu restoran. Hari ini ia punya sekitar 30.000 restoran di seluruh dunia dan membuka hampir 2.000 restoran baru tiap tahun­­­­­­­­­­­­­­­[1]. Namun, McDonald’s juga telah memberi ancaman pada kemandirian ekonomi negara-negara yang dituju. Awal 1970-an, aktivis tani Jim Higtower memandang perkembangan industri fast food sebagai ancaman bagi bisnis-bisnis mandiri, sebagai langkah menuju perekonomian yang didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar, dan sebagai pengaruh homogenisasi.
Negara-negara berkembang menjadi pangsa pasar industri makanan cepat saji. Arus globalisasi menjadi pembawa masuknya industri-industi makanan cepat saji. Perkembangan dunia global mendorong bertambahnya para aktor hubungan internasional. Perkembangan dunia global membuat negara-negara masuk ingin menempuh pembangunan nasionalnya secara bertahap. Untuk itu diperlukan biaya yang sangat besar yang bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri. Berbagai bentuk dan cara pemanfaatan sumber daya luar negeri ditempuh dari masing-masing negara. Antara lain berupa bantuan keuangan, bantuan ahli, bantuan program dan proyek, bantuan teknologi, pinjaman modal yang berupa kredit, penanaman modal asing dan kegiatan operasional Multinationsal Corporations. Multinasional Corporation merupakan agen globalisasi yang melakukan ekspansi keluar dikarenakan keinginan untuk menginternasionalkan kegiatannya dalam rangka mengisi ketidaksempurnaan pasar[2]. Multinasional yang dimaksud di sini ialah industri fast food seperti McDonald’s, KFC, AW, dan sebagainya. Negara-negara Afrika, Amerika Latin, dan Asia (Indonesia) menjadi Negara tujuan industri makanan cepat saji.
Meningkatnya kerja sama antar negara, berakhirnya perang dingin, dan menangnya ideology demokrasi liberal yang dimaksud Francis Fukuyama, mengharuskan negara-negara saling berhubungan intens. Pertukaran teknologi, masuknya perusahaan asing, dan pemburuan para buruh murah merupakan akibat dari globalisasi dalam bidang ekonomi. Sudah barang tentu, globalisasi tidak berkembang secara adil, dan tidak berarti semua konsekuensinya menguntungkan atau baik. Buat kebanyakan orang yang tinggal di luar Amerika Utara dan Eropa, terkesan tidak menyenangkan seperti westernisasi. Banyak wujud kultural globalisasi yang berwajah Amerika seperti Coca-Cola, McDonald’s, ataupun CNN[3].
Munculnya budaya-budaya baru yang asalnya dari barat (westernisasi) telah mengubah perilaku masyarakat yang berada di negara ketiga, tak terkecuali Indonesia. Lahirnya konsumerisme, individualism, dan sekularisme merupakan buah tangan globalisasi. Indonesia sudah tidak di isi dengan semangat gotong royong, saling mengunjungi antar tetangga, dan rasa kekeluargaan yang tinggi. Segala kebiasaan masyarakat Indonesia kini telah hilang dan berganti dengan budaya barat, yang notabene sangat konsumerisme dan individualisme. Dalam hal konsemerisme, masyarakat Dunia ketiga telah terbius oleh fast food seperti McDonald, KFC, A&W, dan lain-lain. Bahkan seorang ahli sosiologi telah membuat istilah McDonaldisasi.
Dalam bukunya The McDonaldization, Ritzer memberikan sasaran perhatian terhadap rasionalitas formal dan fakta bahwa restoran cepat saji mencerminkan paradigma masa kini dari rasionalitas formal. Teori mengenai rasionalitas formal di kembangkan oleh Max Weber. Rasionalitas formal merupakan proses berpikir aktor dalam membuat pilihan mengenai alat dan tujuan. Restotan cepat saji (McDonald’s, KFC, A&W, dan lain-lain) merupakan sistem rasional formal dimana seorang pekerja dan pelanggan di giring unruk mencari cara paling rasional dalam mancapai tujuan. Mendorong makanan melalui jendela, misalnya, adalah cara rasional karena dengan cara demikian pelayan dapat menyodorkan dan pelanggan mendapatkan makanan secara cepat dan efisien. Kecepatan dan efisiensi didiktekan oleh restoran cepat saji dan aturan operasionalnya[4]. Ada tiga komponen rasionalitas formal;
1.      Efisiensi, yakni menvari cara yang terbaik untuk mencapai tujuan. Dalam restoran cepat saji, mengulurkan makanan melalui jendela merupakan usaha untuk meningkatkan efesiensi dalam mendapatkan makanan.
2.      Kemampuan untuk diprediksi (predictability), yakni dalam restoran cepat saji, burger yang ada di Los Angeles dan di Tokyo sama.
3.      Lebih menekankan pada kualitas dibanding kualitas, dalam restoran cepat saji lebih menekankan pada teknologi nonmanusia seperti koki yang tidak terampil yang mengikuti petunjuk rinci dan metode perakitan dalam memasak dan menyajikan makanan, daripada koki yang berkualitas.
McDonaldisasi juga di bangun dari konsep alat-alat konsumsi yang lahir dari masa revolusi industri. Masyarakat telah beralih dari memikirkan bagaimana produksi itu dan lebih perhatian pada bagaiman menikmati sesuatu (konsumsi). Marx mendefenisikan alat-alat konsumsi sebagai komoditas yang memiliki suatu bentuk di mana komoditas itu memasuki konsumsi individual dari kelas kapitalis dan pekerja. Apabila komoditas itu mengkonsumsi sesuatu yang mewah maka komoditas itu dapat dikatakan ‘kelas kapitalis’, dan jika komoditas itu mengkonsumsi sesuatu yang produksi pemilik modal, maka dapat dikatakan kelas ‘pekerja’. Alat-alat konsumsi merupakan hal-hal yang memungkinkan orang-orang untuk mendapatkan barang dan jasa dan dikontrol serta dieklsploitasi dalam kapasitasnya sebagai konsumen[5]. Alat-alat konsumsi (mall. Restoran cepat saji, hotel, kasino, tempat hiburan, dan lai-lain) merupakan inovasi dari modernisasi, McDonald’s tidak hanya telah mengkonstruksi pemikiran konsumen yang di Amerika, tetapi juga telah tertransformasi ke negara-negara lain. Masyarakat yang menjadi objek McDonaldisasi menjadi kabur terhadap pemikiran bagaimana makanan-makanan itu diproduksi dan bahan produksinya berasal dari mana. Masyarakat dunia ketiga hanya menjadi pangsa pasar dan mendapat julukan ‘konsumerisme’.
   Dalam McDonaldisasi terdapat konsep habitus. Habitus merupakan kebiasaan yang dilakukan seorang atau masyarakat yang menyusun lingkungan yang memiliki makna atau nilai. Habitus erat hubungannya dengan selera, karena habitus membentuk selera. Selera merupakan peluang untuk membentuk atau menegaskan posisi seseorang di dalam lingkungan. Selera juga merupakan praktik yang antara lain membantu memberikan seorang individu maupun orang lain mengenai pemahaman posisinya dalam tatanan sosial. Selera membantu menyatakan orang mengenai memiliki prefensi serupa atau membedakan mereka dari orang lain yang memilki selera berbeda. Jadi melalui penerapan habitus dan selera, orang menggolongkan objek dan sekaligus meraka berada dalam proses menggolongkan diri mereka sendiri. Sederhanya, orang yang memiliki selera makanan McDonald’s merupakan orang yang memiliki posisi yang di atas dalam tatanan social sedangkan orang yang memiliki selera makanan di warung ‘tegal’ memilki posisi yang rendah dalam tatanan sosial. Hal ini terjadi karena kebiasaan (habitus) yang telah dilakukan orang yang memiliki modal dalam memilih tempat makan di restoran cepat saji (McDonaldisasi). Bourdieu mengatakan bahwa selera dibentuk oleh habitus yang berlangsung lama; bukan dibentuk oleh opini dangkal dan retorika. McDonaldisasi juga erat hubungannya dengan distinction (kehormatan). Lingkungan itu menawarkan peluang untuk mengejar kehormatan tidak habis-habisnya. Orang-orang lebih merasa terhormat saat makan di McDonald dibandingkan warung biasa, orang lebih merasa terhormat saat beristirahat di hotel daripada di wisma, orang lebih merasa terhormat saat mengendarai mobil dibandingkan motor, dan masih banyak lagi hal yang lebih mengedepankan kehormatan yang sebenarnya tidak ada makna atau nilai yang bisa membuat kita lebih sadar akan ‘bobroknya’ kepekaan kita.
McDonaldisasi telah mengkonstruksi pemikiran kita mengenai kehidupan sosial. Tempat makan yang dahulunya diisi dengan rasa kebersamaan dan kesetaraan kini telah berubah dengan rasa mencari kehormatan dan eksistensi dalam tatanan sosial. McDonaldisasi faktanya telah menyebar ke berbagai negara. lezatnya makanan itu terganrung dari seberapa laparnya kita.


[1] Eric Schlosser, 2004, Negeri Fast Food Hal; 5
[2]  Yulius P. Hermawan, 2007 Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional (aktor, isu, dan metodologi) Hal; 217
[3]  Anthony Giddens, 2001, Runaway World (Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita) Hal; 10
[4]  George Ritzer-Douglas J. Goodman, 2007, Teori Sosiologi Modern (edisi keenam), Hal; 27
[5]  George Ritzer-Douglas J. Goodman, 2007, Teori Sosiologi Modern (edisi keenam), Hal; 569 

Jumat, 04 Februari 2011

SISTEM ATAU AKTOR?

“Orang jahat di bawah sistem yang baik tidak bisa berkembang, tapi orang baik di bawah sistem yang buruk akan menjadi jahat.”


Perdebatan antara sistem dan aktor yang paling memengaruhi majunya Negara berkembang perlu di kaji secara mendalam.sistem disini menunjuk pada sehimpunan gagasan atau ide yang tersusun terorganisasikan, suatu himpunan gagasan, prinsip, hukum, doktrin, yang membentuk suatu kesatuan. Sistem  dalam konteks  ini merupakan pola yang ada di luar Negara yang dapat memengaruhi apa yang ada dalam Negara . Dalam hal ini kita mengenal adanya sistem neoliberal yang merupakan desain baru liberal. Neolib merupakan konsepsi tata pengelolaan yang meminimalisir peran pemerintah dan menyerahkan pada pasar bebas atau pihak swasta. Sedangkan aktor merupakan pelaku yang berperan dalam hubungan antarnegara yang menjadi pengambil kebijakan. Sistem neolib menjadi raja saat tumbangnya Uni Soviet ditambah dengan diangkatnya duet Ronald Reagen dan Margareth Thatcher sebagai penggagas privatisasi. Neoliberal menekankan pada pasar bebas yang manghasilkan perekonomian Negara-negara akan maju dengan pertumbuhan yang tinggi akibat masuknya modal secara massif, dan salingterkaitnya ekonomi domestik, dunia akan menjadi aman karena satu Negara tidak akan berperang dengan Negara lain karena adanya interdependensi antara mereka. Sistem neoliberal merupakan raja yang telah dan akan terus menduduki tahta di Negara berkembang.

Aktor dalam konteks ini merupakan pemerintah. Dalam konteks ini kita akan membicarakan secara umum mengenai pertanyaan apakah perubahan  sistem atau aktor yang diperlukan dalam perbaikan Negara berkembang. Negara berkembang umumnya merupakan Negara yang baru merdeka sehingga masih bergelut dengan pembangunan (listrik, layanan kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur). Dalam pemenuhan kebutuhan ini, muncul lah IMF. World Bank, atau WTO sebagai perpanjangan tangan hegemoni Negara kapitalis. IMF dan World Bank memberikan pinjaman untuk Negara berkembang melakukan pembangunan, namun  dengan prasyarat membuka pasar bebas, privatisasi, dan tentunya dengan utang, dan akhirnya Negara berkembang akan tergantung dengan modal dan teknologi Negara maju dan ini menjadi sistem. Pertanyaan kemudian apakah sistem ini akan membuat Negara berkembang membaik? Apakah aktor yang lebih dominan dalam penentuan nasib Negara berkembang karena aktor merupakan pengambil kebijakan?.

Neoliberalisme telah membuat kompetisi yang tidak sehat dimana individu/perusahaan dapat menguasai sumber daya sehingga dapat melakukan eksploitasi demi mendapat profit. John Locke berpendapat bahwa individu memiliki hak untuk memanfaatkan harta benda dengan bebas. Neoliberalisme memberi jalan lebar bagi modal asing masuk ke  Negara berkembang. Negara berkembang memliki sumber daya manusia dan sumber daya alam, namun modal dan teknologi dimiliki oleh Negara maju, sehingga akan mengakibatkan interdependensi. Ironisnya, Negara berkembang sudah memiliki utang demi pembangunan, malah tetap memberikan sumber daya nya juga. Neoliberalisme terbukti tidak mampu menyejahterakan masyarakat di Negara berkembang. Negara-negara maju semakin kaya dan Negara berkembang tidak demikian.. Berdasarkan data PBB, pada tahun 1960, 20 % penduduk dunia di Negara terkaya 30 kali pendapatan 20 % penduduk termiskinnya. Pada tahun 1997, jumlahnya meningkat 74 kali lipat. Antara tahun 1994 dan 1998 kekayaan 200 orang terkaya di dunia meningkat dari 440 milyar dolar AS menjadi lebih dari 1 triliun dolar AS. Pada periode yang sama, harta kekayaan 3 orang terkaya dunia lebih besar dari jumlah keseluruhan GDP 249 negara-negara berkembang. Menurut laporan world development report (World Bank: 2004), rata-rata pendapatan 20 negara terkaya di dunia adalah sebesar 38 kali rata-rata pendapatan 20 negara termiskin.

Lalu bagaimana peran pemerintah sebagai  aktor yang menentukan kebijakan Negara berkembang?. Pemerintah sebagai aktor tidak dapat memperbaiki nasib Negara  berkembang karena:
  1. Negara-negara maju telah berhasil menghegemonikan sistem neoliberalsme di Negara berkembang, sehingga tercipta interdependensi. Negara maju memliki modal untuk masuk ke dalam Negara berkembang, sesuai logika neolib maka yang memiliki modal lah yang dominan dan dapat memengaruhi pemerintah (aktor) sebagai policy making. Sungguh jelas bahwa neoliberalisme mengalihkan regulasi ke tangan individu-individu demi profit.
  2. Menurut Talcott Parsons, aktor akan secara otomatis melakukan perannya dalam sistem. Jadi, pemerintah sebagai aktor akan menjalankan perannya dalam sistem yang neolib. Sesuai pendapat marx, bahwa seseorang itu dibentuk oleh lingkungannya. Sistem lah yang membentuk aktor. Aktor atau pemerintah hanya mengadopsi sistem. Melihat pandangan strukturalis bahwa aktor yang berperan itu adalah borjuasi dan proletar dalam struktur kapitalis, maka aktor (pemerintah) dalam Negara merupakan kaum borjuasi karena akan terus mencari keuntungan melalui eksploitasi alam dan proletarian.
Siapakah yang membuat konsep Negara maju dan berkembang? Apa standar suatu Negara dikatakan Negara maju dan berkembang? Sadar atau tidak dunia ini telah membentuk sistem secara sengaja. Konsep Negara maju dan berkembang dibuat oleh para neolib. Kita terlalu terpaku dengan status Negara maju dan berkembang yang sengaja di buat, padahal kesejahteraan masyarakat yang utama. Hanya beberapa Negara seperti Kuba, Iran, Venezuela yang mampu tetap berdiri dengan tidak terpengaruh oleh sistem neolib, tapi tingkat kesejahteraan Negara-negara ini juga baik dan mandiri.


Sumber:
Jurnal alternative, 2009, Neoliberalisme : sebuah perspektif dan konsekuensi praktisnya, Makassar : HIMAHI UNHAS, Ininnawa.
Maulana, Zain, 2010, Jerat Globalisasi Neoliberal, ancaman bagi Negara dunia ketiga, Yogyakarta:RIAK
Setiyono, Budi, 2007, Pemerintah dan Manajemen Sektor  Publik, prinsip-prinsip manajemen pengelolaan negara terkini, Jakarta : Kalam Nusantara


Ditulis oleh Abdullah Fikri Ashri, untuk mata kuliah Pemikiran Politik Negara Berkembang, 2010