Maaf Anda Tersesat!

Coba lagi. Jangan menyerah!

Sabtu, 28 Mei 2011

Sebuah Langkah




Pertama-tama dan yang paling utama, mohon maaf ku haturkan kepada kak Bobby karena tidak menepati janji manisku.. loh??. Kemarin sungguh hari yang sibuk, 3000 kata harus selesai dalam beberapa jam (alasan), tapi sebenarnya memang manajemen ku yang masih amburadul..hehehe. oh iya, nanti sajalah kita bercerita mengenai 3000 kata. Setelah menjelajah dunia kedua yang telah mengubah dunia dari bulat menjadi kotak layaknya layar yang hampir ada di semua tangan seseorang, membuka blog seseorang yang membuatku tercengang mengenai tanggal 2 Mei…(nanti jugalah cerita ini)…
Setelah bercengkrama lewat jari, akhirnya sampai di titik harus bercerita. Karena kita akan selalu bercerita. Kali ini akan ku bagi 3 hari yang sangat bermakna. HIfest, sebuah kampanye antiglobalisasi yang menurutku sangat keren, pembelajaran, dan tentunya manfestasi dari pahaman kita. Kali ini HIfest bertemakan Pangan: Makan Apa Aku Hari Ini?. Perhelatan ini berlangsung 24,25,26 Mei 2011 at Baruga Unhas. Ini HIfest pertamaku setelah tahun lalu tidak sempat melaksanakan HIfest. Jadi, saya belum bisa mendapatkan refrensi dari tahun kemarin, sehingga HIfest kali ini sangat keren menurutku.. kampung budaya yang menyajikan makanan tradisional, dialog publik, nonton film, penggung kreasi, games ular tangga globalisasi, petisi antiglobalisasi, hingga penyajian data2 yang mencengangkan, menghiasi kerennya HIFest kali ini. Ternyata, tidak stabilnya ketahanan pangan setiap negara berkembang disebabkan oleh settingan para borjuasi perusahaan. Jangankan kedaulatan pangan, ketahanan pangan pun sulit untuk dicapai.
Sadar tidak ternyata makanan yang di gembor-gemborkan para MNC itu memiliki kandungan yang berbahaya dan tentunya merupakan hasil eksploitasi. Setiap ayam dan sapi yang ada di MNC telah diberi suntikan kimia untuk meperbesar ukuran dagingnya, dan tentunya terkandung berbagai penyakit. Lihat saja, di negara maju penyakit-penyakit yang sering muncul adalah penyakit degenerative (ginjal,diabetes, etc). dan tau tidak, tanaman yang dapat kita jadikan sayur mayor atau makanan, ternyata kedepan akan sulit kita dapatkan. Kita harus bersaing dengan mesin, karena telah ada bahan bakar dari tumbuhan. Pabrik terbesarnya dapat dilihat di Brazil. Dan yang paling buruk mengenai kita adalah budaya konsumerisme. Mengkudu yang dahulunya di jadikan obat atau rujak, kini dijadikan kosmetik untuk memenuhi keinginan korban hegemon borjua.dan masih banyak lagi hal-hal seram globalisasi dalam hubungannya dengan pangan.
Seperti biasa, yang paling utama dalam kegiatan rumah ini, adalah kaderisasi. Menginap di Baruga selam 3 malam, bangun pagi dengan sapaan beberpa teman yang sebenarnya kantongan (baca: sarapan) di tangannya lah membuatku terbangun, dan akhirnya final tanpa mandi. HIFest kali ini memang tidak seramai bayanganku. Tapi, yang terpenting adalah gerak kita. HIFest, sebuah langkah mengubah dunia.

Minggu, 15 Mei 2011

Sejengkal Pengetahuan

 

Belajarlah…. Hidup ini adalah belajar. belajar memaknai hidup. Inilah yang menggambarkan bagaimana diriku sebenarnya untuk saat ini. Mungkin terlalu idealis, naïf, munafik, atau apapun itu yang sering dikatakan orang lain yang semakin memaknai bahwa tidak ada yang ideal di dunia ini. Hidup ini sangat singkat, dan jika selama waktu  yang sempit ini yang ada di pikiran seseorang hanyalah dirinya sendiri, maka tidak bergunalah hidup seseorang tersebut. Individualisme telah menjadi prinsip hidup orang banyak, konsumerisme dan hedonisme telah menjadi gaya hidup orang banyak. Orang-orang (termasuk saya) lebih memilih berlabuh di tempat perbelanjaan yang hanya mengejar profit dibanding pergi merasakan perut lapar orang banyak yang bagian makanannya dieksploitasi oleh orang lain yang sudah gendut. Orang-orang lebih memilih duduk berjam-jam di depan benda elektronik dibandingkan bertatap muka dengan sahabat-teman, atau keluarga yang maknanya lebih terasa. Inilah beberapa hal yang ada di pikiranku. Status mahasiswa yang sekarang ku emban membuatku lebih merasa terbebani dengan tanggungjawab yang semakin nyata. Sebelumnya, aku pernah menduduki kelas bangku SD, SMP 12, MAN 2 Model Makassar, hingga sekarang memikul status mahasiswa Hubungan Internasional FISIP Unhas.
Pernah aku bertanya, kapan rasa tanggungjawab itu muncul?, saat ada jabatan, status, atau saat ada amanah yang diberikan kepada kita?. Menurutku, tanggungjawab itu muncul saat kita sadar. Meskipun dalam sosiologi, saya tidak pernah mendapati teori mengenai kesadaran, menurutku kesadaran itu sangat penting dalam hal personalitas. Bertambahnya usia mestinya berbanding lurus dengan kesadaran akan realita sosial. Banyak orang mengatakan bahwa masa kesadaran akan realita sosial itu hanya dalam tahap mahasiswa. Mungkin benar, mungkin juga keliru.
Seorang seniorku pernah mengatakan “mahasiswa adalah seorang yang sedang memikul banyak hal yang berada di persimpangan jalan dan siap untuk memilih jalan yang akan dia lewati nantinya”. Menurutku, mahasiswa adalah masa dimana kita sudah harus memilih jalan kita sendiri, mampu mengambil sikap, dan yang terpenting adalah harus memaknai hidup. Saat ini aku masih menjadi mahasiswa yang biasa-biasa saja, yang datang ke kampus untuk kuliah, ngumpul, dan pulang ke rumah dan merasa dunia baik-baik saja karena perut ku tidak terasa kosong. Mungkin sedikit banyak mahasiswa sekarang bernasib sama dengan ku. Hampir selama 20 tahun masa hidupku semenjak lahir, aku masih belum bisa mengubah dunia. Hidup di sebuah kota seperti Makassar telah mengkonstruksi pikiran dan diriku menjadi makhluk kota. Resiko sebuah kota yang harus bermuatan pembangunan, tempat perbalanjaan, polusi, individualistic, konsumtif, dan akhirnya akan menjadi pangsa pasar bagi negara yang ber’frame’ neoliberal. Bobroknya para pengemban negara membuatku semakin takut melihat ke depan. Alsannya satu, sistem yang digunakan memang untuk membobrokkan para pelakunya, hingga Aziz Kahar pernah mengatakan dalam sebuah ceramahnya “seseorang yang hidup dengan tetap memegang idealitas, akan sulit diterima di lingkungannya dan mungkin akan tersingkir”. Walaupun rasa takut menghadapi masa depan menghantuiku, tapi akan lebih buruk keadaan saat setiap orang berpikiran sama denganku dan terjebak dalam rasa pesimisnya. Seorang tidak diukur dari seberapa tinggi tes IQ atau apapun itu yang ada di otaknya, tapi menurutku seorang itu di ukur dari hatinya. Tetaplah berbuat untuk orang banyak. bermimpi dan berbuatlah walaupun dengan sejengkal pengetahuan mu...