Maaf Anda Tersesat!

Coba lagi. Jangan menyerah!

Jumat, 01 November 2013

Haruskah BBM Naik??



Disampaikan pada diskusi koridor KOSKIP HIMAPEM 16 Juni 2013

Oleh : Abdullah Fikri Ashri (HIMAHI)

Bulan Juni ini rencana untuk menaikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) kembali disuarakan oleh pemerintah. hal ini memang bukan sesuatu yang baru, sehingga rencana kenaikan BBM ini tentu harus dianalisa seobyektif mungkin. Pro kontra tentang kenaikan BBM menjadi pembicaraan hangat di media. Pihak pro mengatakan demi menyelematkan perekonomian nasional kenaikan BBM merupakan solusinya, sedangkan pihak kontra memandang kenaikan BBM tidak berdasar data valid atau hanya merupakan politisasi menjelang pemilu.
Perspektif ekonomi politik internasional penting dikaji dalam kasus kenaikan BBM Indonesia. alasannya sederhana, minyak Indonesia kebanyakan merupakan impor, sehingga kondisi minyak di pasar global pasti berpengaruh dengan Indonesia. jadi jika harga minyak dunia naik, maka Indonesia harus menyesuaikan harga minyak nasionalnya. Harga minyak mentah di pasar dunia berkisar 90 dollar AS per barrel, harga wajar premium Rp. 7.000 per liter, yang berarti ada subsidi Rp. 2.500 per liter. Besarnya subsidi BBM inilah yang dianggarkan sebesar Rp. 305 Triliun (sekitar 20 % dari APBN lebih besar dari belanja modal pemerintah dan anggaran investasi saranan BUMN) dan mengakibatkan Indonesia mengalami deficit. Jadi, menaikkan harga BBM menjadi rasional.karena jika tidak jumlah deficit akan terus meningkat dan membebani pemerintahan selanjutnya. Namun, bukankah Indonesia merupakan negara minyak yang dulu masuk dalam OPEC? Mengapa tergantung dengan minyak impor? Bukankah anggaran APBN lebih banyak dihabiskan oleh koruptor? Dan bukankah kenaikan BBM tidak hanya kali ini saja, lalu tahun-tahun kemarin apa hasil dari pergolakan rakyat melawan kenaikan BBM?
Membicarakan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kondisi ekonomi politik internasional. kemenangan ideology liberal-kapitalis pasca perang dingin tentu berpengaruh di berbagai negara termasuk Indonesia. logika kapitalisme yang over production dan accumulative (akumulasi modal) yakni produksi yang berlebih harus di distribusikan di negara lain demi mengumpulkan modal sebanyak-banyaknya. Hal inilah yang mengakibatkan setiap negara harus membuka pasarnya dan meminimalisr hambatan perdagangan. Dalam kasus Indonesia, pasar bebas sudah mulai diterapkan sejak UU Penanaman Modal Asing 1967 hingga kini. Indonesia tentu saja menjadi sasaran negara kapitalis karena SDA yang melimpah dan Buruh yang murah. Apalagi setelah krisis 1997, peran IMF sangat memperngaruhi perekonomian Indonesia. terkait dengan minyak, tahun 2001 kebijakan energy Indonesia beralih ke pasar global melalui Letter of Intent IMF. Hal inilah yang mengakibatkan ketergantungan minyak Indonesia dengan pasar global dalam hal ini NYMEX (New York Mercantile Exchange, Inc).
Berlimpah ruahnya sumber daya alam di sebuah negara sering kali tidak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan dan keadilan yang dirasakan oleh masyarakatnya. Sehingga tidak salah kalau kondisi ini disebut Stiglitz sebagai hasil dari ”kutukan sumber daya alam (natural resources curse)”. Stiglitz melanjutkan bahwa dinamika politik di negara-negara yang kaya sumber daya alam seringkali mengarah kepada ketidakadilan. Hal ini terjadi pada negara maju dan berkembang yang kekayaan sumber daya alamnya digunakan untuk menguasai ekonomi dan politik termasuk usaha untuk memperkaya diri sendiri dengan hasil sumber daya alam tersebut. Jadi, yang membuat SDA terkutuk yakni orang-orang serakah berikut sistem kapitalisnya. Penghapusan subsidi, kenaikan BBM, dan juga masuknya perudahaan minyak seperti Shell dan Chevron merupakan hal niscaya dalam logika kapitalisme. Sekali lagi, pemerintah tidak punya rencana jangka panjang terkait kebijakan energi. Jadi, haruskah BBM naik? Mari mendiskusikannya.   



 

1 komentar: