Maaf Anda Tersesat!

Coba lagi. Jangan menyerah!

Rabu, 13 November 2013

MEMBACA KEMBALI WTO



Disampaikan pada diskusi “Menerawang WTO di Indonesia”  MAPAN STIMIK, 5 November 2013
Abdullah Fikri Ashri[1]
            Dahulu kakek nenek kita mungkin tidak pernah menyangka bahwa kita sekarang sangat kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokok, bahkan tempe dan cabe pun kita sulit mendapatkannya, listrik yang mahal, air yang sulit, bahkan untuk belajar dan pintar pun mesti menjual sawah kakek nenek kita. Sulitnya mendapatkan kebutuhan kita di tanah air ini tidak bisa dilepaskan dari perjalanan perekonomian dunia yang kini semakin terintegrasi. Oleh karena itu penting untuk memahami bagaimana dunia ini dibangun.
            Seperti yang dikatakan Kenichi Ohmae bahwa negara bangsa telah mengalami state borderless (batas territorial yang menipis), serta aliran dan juga barang-barang melintasi batas-batas negara. hal inilah yang dikenal dengan globalisasi ekonomi, apalagi ketersediaan infrastruktur dan kemajuan teknologi menjadikan proses globalisasi semakin cepat. Akibatnya ekonomi suatu negara semakin bergantung dengan lingkup global sehingga kebijakan ekonomi suatu negara tidak bisa dilepas dari pengaruh negara lain. Globalisasi ekonomi dan merajalelanya neoliberalisme tidak bisa dilepas dari filsuf liberal. Adam Smith (1776) percaya pada kekuatan invisible hand sebagai kekuatan pasar. Dengan semboyan “Laissez-faire” percaya bahwa pemerintah sebaiknya tidak ikut campur dalam mekanisme pasar. Ketika individu mengejar keuntungan pribadi maka akan berakibat pada masyarakat yang mendapatkan keuntungan pula.[2] Masyarakat terdiri dari individu-individu dengan kecenderungan bawaan untuk melakukan tukar-menukar dan berdagang demi mengejar kuntungan dan memuhi kebutuhannya sebagai homoeconomicus. David Ricardo mengokohkan teori perdagangan bebas denan comparative advantages nya yakni negara akan mendapatkan keuntungan jika mendasarkan pada keuntungan komparatif yang mereka miliki. John Locke juga memberikan pandangan tentang kebebasan individu bahwa setiap individu bebas untuk memenuhi kebutuhannnya dengan melakukan usaha ataupun berdagang. Neoliberalisme yang dimotori oleh Friedrich Hayek dan Milton Friedman meyakini bahwa pasarlah yang mampu bekerja secara efesien dalam mengalokasikan sumber-sumber ekonomi langka. Menurut kaum neoliberal, “cara-cara kita bertransaksi dalam kegiatan ekonomi bukanlah satu dari berbagai model hubungan antarmanusia, melainkan satu-satunya model yang mendasari semua tindakan ataupun relasi manusia, baik itu persahabatan, keluarga, hukum, tata negara maupun hubungan internasional”[3]. pandangan-pandangan inilah yang membangun perdagangan dunia yang timpang.
            Pengalaman perang dunia II telah membuat para aktor internasional untuk mulai membangun kerjasama khususnya dalam bidang ekonomi dan melupakan pengalaman buruk perang. Oleh karena itu perdagangan bebas dianggap dapat menciptakan perdamaian dan kemakmuran karena perdagangan bebas berawal dari kerjasama antar aktor internasional. Martin Wolf menambahkan perdagangan bebas merupakan cara paling baik dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran rakyat. Perdagangan bebas memberikan peluang untuk negara berkembang bisa menjadi maju, mengikis sitem korup, mendapatkan produk luar negeri yang murah, dan pembangunan investasi di dunia berkembang. Untuk mendukung perdagangan bebas maka dibutuhkan keterlibatan aktor yang lebih banyak dan aturan-aturan yng mendukung meluasnya perdagangan bebas (paham neoliberal).
            General Agreement on Tariff and Trade (GATT) kemudian hadir pada tahun 1947 untuk memfasilitasi terbentuknya sistem perdagangan bebas. Lembaga ini kemudian digantikan oleh World Trade Organizations (WTO) pada tahun 1994 sebagai rejim perdagangan bebas dengan aturan bersifat mengikat yang fokus bagaimana perdagangan tidak lagi dihambat proteksi baik dalam bentuk tariff ataupun non-tarif. Tugas institusi WTO adalah mendorong diimplementasikannya liberalisasi ekonomi berdasarkan doktrin pasar bebas neoliberal.[4] WTO, Bank Dunia, dan IMF kemudian ‘memaksakan’ resep bagi negara-negara untuk melakukan langkah-langkah: 1). Disiplin Fiskal dan pengekangan deficit anggaran;2).Pengurangan belanja publik khususnya militer dan administrasi publik;3).reformasi pajak dengan memberikan kelonggaran dan kemudahan kepada pengusaha; 4). Liberalisasi financial; 5). Usaha membuat nilai tukar uang yang kompetitif; 6). Liberalisasi hambatan perdaganga; 7). Menggiatkan investasi asing; 8). Privatisasi atas BUMN; 9). Deregulasi peraturan untuk terbukanya pasar domestic; dan 10). Perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual.
            Boni Setiawan mengemukakan delapan ciri menonjol dari WTO[5]: pertama, WTO adalah sebuah badan yang memiliki otoritas dan kewenangan atas berbagai pengaturan tingkat dunia terhadap anggotan-anggotanya berdasarkan kesepakatan perundingan. Kedua, WTO memiliki 3 prinsip dasar untuk meliberalisasi ekonomi domestic, ketiga, WTO merupakan kontrak seumur hidup, keempat, WTO mengenal istilah progressive liberalization yakni prinsip liberalisasi yang dilakukan secara hebat dan terus menerus, kelima, WTO merupakan rezim pasar bebas yang menolak sepenuhnya proteksionisme, keenam, WTO memperkuat rezim “Intelectual Property Right”, ketujuh, WTO memperkuat dominasi negara maju di meja perundingan dengan mekanisme consensus, kedelapan, WTO dalam kenyataannya membawa agenda kepentingan negara maju. Hal ini dapat dilihat bahwa negara maju ingin negara berkembang membuka pasarnya karena negara berkembang memiliki buruh murah dan sumber daya alam yang bisa dieksploitasi. Jadi, jelas bahwa WTO merupakan ‘alat’ negara maju untuk mendominasi negara berkembang, tak terkecuali Indonesia.
            WTO tidak hanya mengatur mengenai perdagangan bebas barang (produk) tetapi juga jasa (service). Dalam pandangan neoliberal memang mengharuskan tidak adanya kepemilikian publik atau bersama dan mengurangi subsidi yang menyangkut publik seperti kesehatan, lingkungan, dan tentunya pendidikan. Neoliberal melihat segalanya adalah komoditas yang bisa diperjualbelikan demi mendapat keuntungan dan akumulasi modal. Sejak 1995 Indonesia telah menjadi anggota WTO dengan diratifikasinya semua perjanjian-perjanjian perdagangan multilateral menjadi UU No, 7 tahun 1994. Perjanjian tersebut mengatur tata-perdagangan barang, jasa dan trade related intellectual property rights (TRIPS) atau hak atas kepemilikan intelektual yang terkait dengan perdagangan.
            Salah satu bidang jasa yang diatur WTO adalah pendidikan. Logika perdagangan jasa pendidikan, sebagaimana diutarakan oleh Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Sofian Effendi mengikuti tipologi yang digunakan oleh para ekonom dalam membagi kegiatan usaha dalam masyarakat. Ilmu ekonomi membagi 3 sektor kegiatan usaha dalam masyarakat. Pertama adalah sektor Primer mencakup semua industri ekstraksi hasil pertambangan dan pertanian. Kedua, sektor sekunder mencakup industri untuk mengolah bahan dasar menjadi barang, bangunan, produk manufaktur dan utilities. Dan ketiga, sektor tersier yang mencakup industri-industri untuk mengubah wujud benda fisik (physical services), keadaan manusia (human services) dan benda simbolik (information and communication services). Sejalan dengan pandangan ilmu ekonomi tersebut, WTO menetapkan pendidikan sebagai salah satu industri sektor tersier, karena kgiatan pokoknya adalah mentransformasi orang yang tidak berpengetahuan dan orang yang tidak mempunyai keterampilan menjadi orang yang berpengetahuan dan mempunyai keterampilan.
            Komersialisasi pendidikan sekarang perlu disikapi dengan kritis. Pertama, pendidikan adalah hak setiap warga negara Indonesia. komersialisasi pendidikan tentu saja akan membatasi akses pendidikan bagi masyarakat yang tidak memliki modal, kedua, Pendidikan juga sangat vital peranannya dalam mentransfer nilai-nilai dan jati diri bangsa (van Glinken, 2004). Jadi kalau pendidikan berbasis liberal maka bangsa kita akan tumbuh dengan pandangan liberal. Pendidikan yang diperdagangkan berlandaskan pada motif for profit bukan untuk mengembangkan pengetahuan masyarakat. Oleh karena itu pendidikan seharusnya tidak diperdagangkan. Pada tahun 2000 ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai US $ 14 milyar. Di Inggris sumbangan ekspor pendidikan mencapai 4 persen dari total penerimaan sektor jasa negara tersebut. Demikian juga dengan Australia, yang pada tahun 1993, ekspor jasa pendidikan dan pelatihan telah menghasilkan AUS $ 1,2 milyar (data Intellegent export). Tidak mengherankan tiga negara tersebut yang amat getol menuntut sektor jasa pendidikan melalui WTO.
            WTO telah mengidentifikasi 4 mode penyediaan jasa pendidikan sebagai berikut: (1) Cross-border supply, institusi pendidikan tinggi luar negeri menawarkan kuliahkuliah melalui internet dan on-line degree program, atau Mode 1; (2) Consumption abroad, adalah bentuk penyediaan jasa pendidikan tinggi yang paling dominan, mahasiswa belajar di perguruan tinggi luar negeri atau Mode 2; (3) Commercial presence, atau kehadiran perguruan tinggi luar negeri dengan membentuk partnership, subsidiary, twinning arrangement dengan perguruan tinggi lokal., atau Mode 3, dan (4) Presence of natural persons, dosen atau pengajar asing mengajar pada lembaga pendidikan lokan, atau Mode 4. Liberalisasi pendidikan tinggi menuju perdagangan bebas jasa yang dipromosikan oleh WTO adalah untuk mendorong agar pemerintah negaranegara anggota tidak menghambat empat mode penyediaan jasa tersebut dengan kebijakan-kebijakan intervensionis.
            Kebijakan tersebut telah berlangsung di Indonesia sejak dalam perundingan Council for Trade in Services, Special Session pada tanggal 21 Februari 2005, Indonesia telah men-table initial offers-nya pada Sekretariat WTO. Initial offers Indonesia terdiri dari sektor/sub sektor bisnis (terkait dengan jasa hukum), jasa konstruksi, jasa maritim, jasa keuangan, jasa energi, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan. Kini Konferensi Tingkat Menteri (KTM) IX WTO akan digelar di Bali, Indonesia pada bulan desember 2013. Pertemuan tersebut akan membahas bagaimana kelanjutan perdagangan bebas dalam sektor pertanian, pendidikan, dan perdagangan barang agar negara anggota tidak menghambat perdagangan bebas. Jika kita menganalisa bagaimana posisi WTO dalam pertumbuhan ekonomi di dunia, sederhana saja menjawabnya. Sejak terbentuk 1995 WTO telah gagal dengan berbagai krisis 1997 dan kini 2008. Jika WTO membuat rakyat makmur, mengapa Indonesia dan negara berkembang lainnya tetap menempati angka kemiskinan yang tinggi?. Dan kalau alasan liberalisasi pendidikan agar mencerdaskan bangsa, mengapa masyarakat Indonesia sulit mengakses pendidikan?. Mari berdiskusi.

Referensi :
Adam Smith.1964. The Wealth of Nations, New York: Dutton
Budi Winarno.2011. Isu-Isu Global Kontemporer. Yogyakarta: CAPS
Budi Winarno.2009.  Pertarungan Negara Versus Pasar. Yogyakarta : Medpress
Herry B. Priyono.2003. Dalam Pusaran Neoliberalisme. Yogyakarta: Cinderalas Pustaka Rakyat Cerdas
Scott Burchil dan Andrew Linklater. 2009. Teori-Teori Hubungan Internasional. Bandung: Nusa Media. 


[1] Ketua HIMAHI (Himpunan Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional) FISIP Unhas periode 2011-2012
[2] Adam Smith.1964. The Wealth of Nations, New York: Dutton, hal. 398
[3] Herry B. Priyono.2003. Dalam Pusaran Neoliberalisme. Yogyakarta: Cinderalas Pustaka Rakyat Cerdas, Hal. 54
[4] Budi Winarno.2011. Isu-Isu Global Kontemporer. Yogyakarta: CAPS, Hal.41
[5] Ibid,.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar